Sekelumit Sejarah Desa Tunbaun


PENDAHULUAN

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” Bung Karno (Tokoh Proklamator & Presiden RI Pertama) mengucapkan kalimat tersebut pada tahun 1960. Diluar tujuan politik Bung Karno, makna kalimat ini sangat dalam. Suatu kalimat yang menyentuh berbagai aspek kehidupan bangsa kita yang majemuk, termasuk aspek sejarah budaya.
Memang Indonesia kaya dengan berbagai khazanah budaya pada ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Namun sayang, belum semua kekhasan budaya tersebut tereksploitasi menjadi sumber sejarah tulisan yang menambah kekayaan duniaita.
Kondisi Negara kita sebagai Negara kepulauan membentuk perbedaan kebudayaan yang sangat mencolok. Pada jaman dahulu nenek moyang kita yang hidup diluar peradaban menjalankan tradisi, ritual dan adat yang belum digali secara utuh. Semua tradisi, ritual dan adat tersebut berangsur-angsur lenyap seiring masuknya pengaruh budaya asing yang terlebih dahulu hidup dalam peradaban.
Tradisi gereja yang dibawa oleh bangsa asing mencap ritual, tradisi dan adat sebagai penyembahan berhala. Desa Tunbaun menjadi salah satu contoh dimana pengaruh asing dengan segera lebih berpengaruh walaupun tidak semua ritual, tradisi dan adat digolongkan dalam penyembahan berhala. Desa Tunbaun memiliki cerita sejarah dan budaya yang menarik dan sangat berpengaruh dalam perjalanan Kerajaan Amarasi, namun cerita sejarah tersebut kini telah hampir punah ditelan masa.
Minimnya sumber sejarah tentang Tunbaun mendorong penulis menggali, mencari, mendengarkan tuturan-tuturan sejarah, tradisi lisan yang sulit dibuktikan secara ilmiah bahkan dengan catatan-catatan yang tidak memenuhi persyaratan ilmiah. Namun penulis memberanikan diri untuk menambah referensi sejarah nasional melalui tulisan ini. Hal ini sependapat dengan ADM Parera dalam bukunya “Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor” yang mengemukakan bahwa dalam mempelajari sejarah daerah dalam rangka bangsa Indonesia ini, sangat diperlukan bahkan harus mendahului sejarah nasional. Dalam sejarah daerah, para peserta didik akan mempelajari segala seluk beluk dan latar belakang daerahnya pengalaman baik dan buruk daerahnya, nilai-nilai yang diwariskan nenek moyangnya dan lain sebagainya. Baru setelah itu dalam tingkat pendidikan formal selanjutnya mereka mempelajari hal-hal tersebut dari daerah-daerah lainnya dalam sejarah nasional. Hal ini akan menghasilkan pengetahuan yang sangat lengkap tentang daerahnya dan tentang bangsanya Indonesia tercinta[1]. Sejarah bangsa kita lebih menulis tentang sejarah Jawa dan Bali, dan sebagian Sumatra. Sedangkan daerah lain masih mendapat bagian yang sangat kecil sekali bahkan hampir-hampir tidak ada. Dan kalaupun sejarah daerah lain termuat dalam sejarah Jawa dan Bali, itupun hanya untuk melengkapi sejarah mereka sendiri. Berangkat dari hal tersebut penulis mencoba membeberkan sebuah fakta sejarah yang diharapkan benar-benar menjadi referensi sejarah nasional bangsa Indonesia.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan dalam karya ini, karena itu penulis mengharapkan karya ini menjadi batu loncatan dalam proses penelitian dan penggalian lebih lanjut yang berhubungan dengan sejarah daerah. Karena melalui karya ini diharapkan lebih banyak lagi penulis-penulis yang berani meneliti tentang sejarah daerah.
Adapun  sumber sejarah yang menjadi pegangan penulis berupa sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber-sumber tertulis yang utama adalah putera daerah yang menulis tentang sejarah Timor seperti ADM Parera, I.H. Doko, Aco Manafe dan beberapa karya tulis dari penulis barat khususnya Belanda seperti Dr. Pieter Middlekoupp. Sedangkan yang termasuk dalam sumber lisan adalah cerita rakyat serta hasil wawancara yang diadakan penulis sebelum rencana penulisan buku ini dimulai.
Setelah mengumpulkan, merampung serta memilah data-data, penulis merangkainya dalam buku yang terdiri lima bab ini. Bab pertama mengetengahkan tentang asal-usul nama desa, mitos perjalanan nenek moyang Battuna, kehidupan masyarakat primitif Battuna, sistim pemerintahan Battuna, hubungan pertalian darah leluhur Battuna dan Sonba’i. karena itu penulis memberi judul Sejarah Battuna pada Bab pertama buku ini. Bab kedua, mengetengahkan tentang Tradisi dan Ritual. Yang lebih ditekankan disini adalah tahapan perkawinan adat dan Sea Nono Heu (Pemargaan), serta tradisi unik lainnya dalam masyarakat desa Tunbaun. Bab ketiga buku ini diberi judul Sejarah dan Perkembangan Seni Budaya asli Tunbaun. Dimana membahas tentang kesenian dan kebudayaan asli Tunbaun yang diwariskan oleh para leluhur. Di antaranya Herin, Natoni, Tai Futus, Musik dan Tarian. Bab keempat membahas tentang Pengaruh Budaya Asing melalui Agama dan Pendidikan di desa Tunbaun. Sedangkan bab kelima mengetengahkan tentang Peranan desa Tunbaun di Amarasi. Membahas mengenai peranan desa Tunbaun dalam Kerajaan Amarasi, Kecamatan Amarasi dan Kecamatan Amarasi Barat.
BAB I
SEJARAH BATTUNA

Dalam Bab ini kita akan melihat tentang asal usul nama desa, kehidupan Battuna primitif, sistem pemerintahan dan perubahannya, eksodus leluhur dari timur ke barat  serta hubungan pertalian darah antara leluhur Battuna dan Sonba’i. Oleh karena penulis melihat bahwa adanya suatu struktur yang terorganisir dan terarah dengan baik dalam silsilah keluarga, maka penulis beranggapan bahwa bab ini adalah bab kunci dalam usaha menelaah buku ini lebih jauh lagi.
Adapun sumber-sumber sejarah yang digunakan dalam bab ini lebih merujuk kepada sumber lisan. Peranan tokoh-tokoh utama yang dibahas akan lebih mendetail menuju aspek sosial politik mulai dari penduduk asli Tunbaun, leluhur Obehetan yang datang dari Mutis (Mollo), terbentuknya struktur pemerintahan kerajaan suku, peralihan kekuasaan raja yang disebabkan karena perkawinan serta peranan Meo (Panglima) dari Battuna di Kerajaan Amarasi yang akan kita lihat dalam pembahasan berikut ini :
A.    Penduduk Asli Battuna
Menurut tradisi lisan penduduk asli Battuna adalah suku Hoinam Nai Maus yang tinggal di daerah Taninri’in (sekarang). Perkiraan waktu tidak jelas, Penulis hanya memperkirakan bahwa masa ini adalah masa Battuna Primitif, karena belum mengenal sistem bercocok tanam dan cara pengolahan makanan yang yang baik, tidak mengenal pakaian. Mereka hidup berkeliaran mencari makan yakni Faut Muti (batu putih), bjae te’i (tinja sapi) dan boto (buah ara). Kemudian saat kedatangan leluhur Obehetan (Nenometan?) dari Mutis  (Mollo)[2] maka penduduk asli ini mulai diajar bercocok tanam dan mengolah makanan. Selain itu leluhur Obehetan ini juga mengajarkan cara menyalakan api kepada penduduk asli[3].
Pada saat penduduk asli ini melihat api, mereka ketakutan dan lari bersembunyi ke gua setelah berada di dalam gua, tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dan menutup mulut gua penduduk asli pun terkurung dan mati di dalam gua. Hanya ada beberapa orang saja yang lolos tetapi terus bersembunyi. Gua tempat mereka terkurung masih ada sampai saat ini yang disebut Rua Haip sampai ke Kon Noni[4]. Gua ini lebih menyerupai lubang alam dan menembus sampai ke laut. Terdapat sungai bawah tanah. Nai Nitti[5] yang mendampingi Obehetan menjadi Meo (Panglima) kemudian berhasil menangkap seorang penduduk asli yang sedang mencari makanan di luar gua kemudian diberi nama Hekneno (dalam bahasa Dawan Hek artinya Tangkap, Neno artinya langit atau angkasa. Jadi Hekneno berarti ditangkap dari udara) dan menetap didaerah sekitar gua tersebut bahkan sampai saat ini. Pada waktu itu penduduk asli belum mengenal leluhur Obehetan sebagai Raja Suku walaupun leluhur Obehetan memiliki hubungan dengan Sonba’I.
Menurut tradisi lisan, nama Battuna berasal dari bahasa Dawan yang terdiri dari dua kata yaitu Bfatu artinya batu dan Tuna artinya terangkat ke atas jadi Battuna berarti Batu yang terangkat ke atas. Konon pernah terjadi banjir bandang yang menggenangi wilayah sekitar Battuna[6] pada saat itu leluhur Obehetan kemudian mengumpulkan pengikut dan kaum keluarganya di bukit Battuna dan mengadakan ritual upacara adat dengan mempersembahkan seekor kerbau jantan merah. Kerbau itu kemudian dibunuh lalu darahnya dialirkan ke lembah bukit Battuna dengan tuturan keramat bahwa sampai dimana darah itu berhenti mengalir, sampai disitu pula air yang menggenangi wilayah disekitar Battuna. Oleh karena kesaktiannya maka air pun berhenti ditempat darah berhenti mengalir akhirnya leluhur Obehetan dan kaum keluarganyapun selamat dari marabahaya.
Akhirnya sebagai penghargaan atas jasanya, leluhur Obehetan pun diangkat menjadi Atoni Usif (raja)  dengan julukan Battun tuan (Yang Dipertuan atas Battuna) dan Nai Nitti tetap dipercayakan sebagai Meo (Panglima). Tongkat berkepala emas[7] yang dibawa dari Mutis kemudian menjadi simbol kerajaannya. Leluhur Obehetan kemudian menetap di sekitar puncak bukit Battuna dan menjadikan Puncak Battuna sebagai pusat upacara ritual dari marga marga Obehetan, sedangkan Nai Nitti dan keturunannya menempati kampung Seonraen (+ 1,5 km dari pusat desa Tunbaun) dengan pusat upacara ritualnya adalah Nubtuan. Sampai saat ini marga Obehetan dan Nitti dipandang sebagai marga berperngaruh di desa Tunbaun.
B.     Struktur Pemerintahan Kerajaan Suku Battuna
Menurut tuturan tetua adat, kerajaan suku Battuna (Bat ‘Unu) lebih dikenal sebagai Battuna Kuno karena kisaran waktu keberadaannya adalah masa kerajaan Majapahit dan Sriwijaya atau masa Hindu Budha. Tatanan kehidupan masyarakat pada masa ini dipenuhi oleh ritual-ritual dan penyembahan. Tidak jauh berbeda dengan sistem kepercayaan masyarakat kuno lain yakni pengenalan akan Sang Pencipta melalui alam sekitar dan penghormatan kepada nenek moyang. Marga yang berperan besar pada masa ini adalah Obehetan-Nitti[8]. Kedua marga ini boleh dikatakan sebagai peletak dasar kerajaan suku Battuna Kuno ini sekaligus menjadi pemimpin suku dalam melaksanakan berbagai ritual dalam masyarakat.
Kerajaan Suku Battuna menjadi salah satu kerajaan suku yang terpandang dan terkuat dari semua kerajaan suku yang ada di sekitar wilayah Battuna.  Adapun nama raja-raja suku Battuna[9] yang pernah memerintah adalah sebagai berikut:
1.      Raja Pertama Nofu Obe memerintah pada abad ke-10
2.      Raja Kedua Paha Obe memerintah pada abad ke-11
3.      Raja Ketiga Fai Obe memerintah pada abad ke-12
4.      Raja Keempat Tefa(i) Obe[10]  memerintah pada abad ke-13 (Sementara itu masa Nai Nafi Rassi mulai menaklukkan Amarasi).
5.      Raja Kelima Boy Obe memerintah pada abad ke-13
6.      Raja Keenam Fai Obe memerintah pada abad ke-14
7.      Raja Ketujuh Sore Obe memerintah pada abad ke-14
8.      Raja Kedelapan Be’i Nai Obe (Bi Muni Obe) memerintah pada abad ke-15 namun karena perkawinannya dengan Kauna Tinenti (Nakaf Riumat) maka kekuasaan raja beralih kepada suaminya[11]. Sedangkan leluhur marga Obehetan diangkat menjadi Nakaf/Temukung dengan julukan Obhetnai artinya Nakaf atau temukung yang berasal dari turunan raja. Masa ketemukungan ini dimulai dari tahun 1500-an dengan pengabdian kepada kerajaan Amarasi dibawah kepemimpinan Dinasti Koroh.
C.     Sistem Ketemukungan sampai Desa
Sistem ketemukungan merupakan suatu sistem pemerintahan dimana raja suku atau kepala suku menjadi pemegang mandat dari raja (kerajaan Amarasi). Adapun tugas kepala suku ini adalah mengantar upeti kepada raja sekaligus menjadi perwakilan dari suku taklukan yang diperbolehkan menghadap raja di istana (Sonaf). Selain itu temukung juga bertugas sebagai penyambung lidah raja dengan rakyatnya. Temukung terdiri dari dusun-dusun yang dipimpin oleh Barnemen (Kepala Kampung). Kepala kampung mempunyai bawahan yang disebut dengan Ma’kafa (kaki ringan), yang bertugas untuk menyebarkan perintah dan memberikan berita dari penguasa kepada seluruh warga, kerjanya hampir mirip dengan tukang pos. Karena itu untuk tugas ini biasanya dipilih dari seorang warga dengan postur tubuh yang tinggi, pandai bicara dan lari yang cepat, karena terkadang untuk memudahkan penyebaran informasi Makafa akan naik gunung dan menggemakan suaranya dengan alat  dari bambu sehingga terdengar suaranya diseluruh penjuru.
Temukung bersama dengan masyarakat membuat kebun raja atau kebun kolektif yang disebut juga Etu di setiap wilayah ketemukungan. Hasil dari pengolahan kebun tersebut dikumpulkan serta pada setiap tahun hasil tersebut dibawa oleh temukung sebagai upeti kepada raja. Temukung yang pernah memimpin di wilayah ketemukungan Battuna[12] adalah sebagai berikut :
1.         Koe Obe (Am Sufa) memerintah selama 48 tahun, pada tahun 1501 s/d 1549
2.         Tani Obe memerintah selama 28 tahun, pada tahun 1549 s/d 1577
3.         Nefo Obe memerintah selama 25 tahun, pada tahun 1577 s/d 1602
4.         Tae Obe memerintah selama 30 tahun, pada tahun 1602 s/d 1632
5.         Isa Nitti memerintah selama 34 tahun, pada tahun1632 s/d 1666 Raja Amarasi yang memerintah pada masa ini adalah Nai Usif Koroh Sa (Raja Amarasi ketiga).
6.         Sore Obe memerintah selama 35 tahun, pada tahun 1666 s/d 1701
7.         Raka Nitti memerintah selama 29 tahun, pada tahun 1701 s/d 1730
8.         Esu Nitti memerintah selama 30 tahun, pada tahun 1730 s/d 1760
9.         Tetu Obe memerintah selama 24 tahun, pada tahun 1760 s/d 1784
10.     Nusi Obe memerintah selama 30 tahun, pada tahun 1784 s/d 1814
11.     Runa Honin memerintah selama 22 tahun, pada tahun 1814 s/d 1836
12.     Bi Toto Raurus memerintah selama 29 tahun, pada tahun 1836 s/d 1865
13.     Tofa Nitti memerintah selama 36 tahun, pada tahun 1865 s/d 1901
14.     Fai Obe memerintah selama 20 tahun, pada tahun 1901 s/d 1920. Pada tahun 1914 ketemukungan Battuna dimekarkan menjadi 2 wilayah ketemukungan yakni Temukung Battuna dan Temukung Tahinriin. Temukung Taninriin dipimpin oleh Hati Runa memerintah ketemukungan Taninriin selama 15 tahun,  pada tahun 1914 s/d 1929.
15.     Bi Rese Obe memerintah selama 1 tahun, pada tahun 1920 s/d 1921 kemudian suaminya Abi Nitti yang melanjutkan tugas ketemukungan karena alasan Patrilineal. Sedangkan pada tahun 1920 ketemukungan Battuna kembali mengalami pemekaran yang kedua yakni Temukung Ruanrette yang dipimpin oleh Ranu Ruku yang memerintah selama 7 tahun, pada tahun 1920 s/d 1927.
16.     Abi Nitti memerintah temukung Battuna selama 19 tahun, pada tahun 1921 s/d 1939. Pada tahun 1927 temukung Ruanrette diganti oleh Tuta Ruku yang memerintah selama 8 tahun, pada tahun 1927 s/d 1935, sedangkan pada tahun 1929 temukung Taninriin diganti oleh Abi Tameno yang memerintah selama 10 tahun, pada tahun 1929 s/d 1939. Pada tahun 1938 Raja Amarasi Aleksander Rasyam Koroh bertitah pada para temukung bahwa di kemudian hari rakyat akan dipimpin oleh orang lain. Pada masa ini juga raja menggalakkan program tenun ikat amarasi ke semua wilayah ketemukungan. Ranu Ruku dan Abi Tameno juga menjadi pengikut Fai Foni (Meo/Panglima perang ternama raja Amarasi).
Fai Foni
Pendaratan Bala tentara Jepang di Timor masih dikenang oleh banyak orang, namun tak banyak yang mencatat detail dan mengungkapkan konflik yang timbul di Timor menjelang pendudukan Jepang ini. Banyak literatur yang mengungkapkan pendudukan Jepang dalam konteks nasional, tapi untuk daerah-daerah seperti Timor tak banyak masuk dalam analisis. Ada sebuah surat yang dikirimkan oleh seorang Pendeta emeritus Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), B.J. Jacob[13] kepada rekannya Pendeta Pieter Middelkoop[14] di Belanda. Surat sepanjang lima halaman bertanggal 27 April 1964  itu berbentuk ketikan  dan ditandatangi dan Sekretaris Majelis Sinode GMIT Pdt. D.M.E Arnoldus. Pendeta Emeritus Jacob menceritakan pengalamananya sebagai pendeta di Amarasi saat pendaratan Jepang. Diceritakan dalam surat itu bahwa tentara Jepang mendarat di Timor melalui pantai Kerajaan Amarasi yaitu di Teres, Puru dan Sekalak pada 18 Februari 1942.  Jacob menceritakan bahwa sebelum pendaratan Jepang sudah terjadi propaganda-propaganda lewat pamflet yang menyatakan bahwa kedatangan Jepang “akan membebaskan rakyat dari segala penindasan asal setiap orang patut dan menyambut segala perintah dan membantu perjuangan Dai Nippon. Kondisi transisi dan terlebih propaganda Jepang ini menciptakan gejolak dalam masyarakat Amarasi.  Pendeta Jacob tidak memberikan latar belakang namun sangatlah mungkin gejolak ini berakar dari konflik yang sudah ada sebelumnya di kalangan elit Amarasi. Seorang meo (kepala perang) bernama Fai Foni yang berdiam di Ruasnaen, Amarasi  bersama beberapa orang yang mengklaim dirinya “penduduk asli” atau “tuan tanah” berusaha menggalang dukungan di kalangan rakyat Amarasi untuk melawan pihak kerajaan Amarasi. Jacob melaporkan bahwa Fai Foni dan orang-orangnya meniupkan nafiri  di “sekeliling” Amarasi dan mengumpulkan orang-orang untuk “mempropagandakan kekebasan bagi rakyat yang tertindas sekian lama daripada tangan para feodalisten”.  Jacob menyebut bahwa Fai Foni menjadikan janji-janji muluk Jepang sebagai “batu loncatan” dalam usaha untuk menggulingkan pemerintah Kerajaan Amarasi yang sering dinamai sebagai orang “kaseh” atau “orang pendatang dari Sabu.”
Namun ternyata perhitungan Foni dan orang-orangnya meleset karena mantan raja Amarasi A.R. Koroh telah lebih dahulu memperoleh dukungan dari Angkatan Laut Jepang karena ia menyambut pendaratan Jepang bahkan disebutkan ia dikaruniai sebilah pedang dan sebuah “besluit” (surat keputusan) oleh Kaisar Tenoheka. Menurut Jacob, pada saat itu saudara laki-laki sang mantan Raja, H.A. Koroh yang merupakan raja pada saat itu “hampir tidak begitu dihiraukan lagi”. Jacob menklaim bahwa bahwa H.A. Koroh telah mengetahui pembangkangan Foni dan orang-orangnya dan sedang mencari kesempatan untuk “menindas” mereka yang telah dianggap “berkhianat terhadap pemerintah kerajaan Amarasi”. Bahkan ia telah memasang mata-mata untuk memantau pemusatan kekuatan barisan Fai Foni tersebut.
Barisan pemberontak ini ditaksir berjumlah kurang lebih 600 orang “gagah perkasa” dan berpusat di Penfui, Oesao dan Babau di mana mereka terus mengadakan kontak dengan Angkatan Darat Jepang di daerah ini yang telah mereka bantu sebelumnya pada saat pendaratan. Namun beberapa saat setelah pendaratan Jepang, anggota-anggota kelompok inti tidak terlihat lagi di Penfui, Babau dan Oesao. Kemungkinan mereka telah menyadari bahwa A.R Koroh telah mendapatan dukungan dari pihak Angkatan Laut Jepang.  Pada bulan Juni 1942 Foni dan salah satu kelompoknya didatangi sebuah kendaraan militer Jepang di Oesao. Tanpa curiga rombongan Fai Foni mengerumuni kendaraan tersebut. Kemungkinan mereka mengira kendaraan tersebut adalah kendaraan tentara Jepang yang pernah mereka bantu sebelumnya.Ternyata di dalam kendaraan itu menumpang raja A.R. Koroh.  Foni dan tiga orang pengikutnya di tangkap dan dipancung saat itu juga. Tentara Jepang berhasil menangkap 60 orang dibawa ke Burain sebagai tawanan yang katanya akan dipancung kemudian.
Pendeta Jacob adalah pendeta jemaat Oekabiti saat itu. Ia datang ke Buraen untuk melihat kondisi para tawanan. Menurutnya mereka yang ditawan itu “kebanyakan terdiri dari orang-orang Kristen dan sebagian kecil terdiri dari orang halaik.” Jacob menulis: “Tiba di sana mereka lantas dimasukkan dalam keranjang-keranjang kawat yang telah disediakan dengan meniarap di tanah dan diberi makan secara dihamburkan jagung ke dalam keranjang kawat; yaitu  sesudah mereka dirotani 25 kali seorang. Dengan melihat peristiwa ini saya sangat merasa iba hati melihat perlakukan yang sebegitu ngeri terhadap mereka. Apa yang hendak kubuat terhadap mereka yang disengsarakan itu yang hanya menunggu waktu untuk dipancung kepalanya sesuai dengan perbuatanya? Pada waktu saya telah berdoa memohon keberanian daripada Tuhan untuk menghadap Raja A.R. Koroh guna keampunan bagi mereka yang telah disiksa begitu hebat”.
Tanpa sepengetahuan orang-orang yang ditahan ini, Jacob menemui sang Raja untuk memohon pengampunan bagi mereka. Dan berhasil. Semua tahanan dilepaskan. “Keadaan kelepasan yang ajaib tersebut tidak diketahui oleh mereka itu yang tertawan serta saya sendiripun tidak hendak menyatakan kepada mereka bahwa sayalah yang menjadi pohon sebab untuk kelepasan mereka karena hal kelepasan itu hanya terjadi atas jalan ajaib Tuhan sendiri dan bukan oleh manusia,” kenang pendeta Jacob. Bahkan sang Raja meminta pendeta Jacob untuk mengatakan setiap minggu di istananya, sesi pagi di Oekabiti dan sore di Buraen. Rajapun menyiapkan “kendaraan” baginya untuk tujuan itu. Namun berselang beberapa minggu kemudian sang terjadi penangkapan lagi terhadap lima orang anggota kelompok Fai Foni. Dua orang dipancung segera setelah ditangkap. Yang pertama adalah seorang dari Buraen bernama Abi Tameon dipancung dan dikuburkan di sebuah liang lahat yang digalinya sendiri di Buraen di “sisi jalan besar”. Yang kedua adalah seorang meo bernama Raun Tasi atau Ranu Ruku (Raun Ko’u) dari Ruan Rete dipancung di lokasi Radio Lama di Oeba, Kupang. Tiga orang yang lain yaitu Titus Keo dari Fatuknutu di Oekabiti, Tertulianus Mese dari Ruan Rete, Obe Rubu dari Battuna dipasung kakinya dan ditahan oleh tentara Jepang di Banuin, Buraen menunggu tiga hari kemudian untuk dipancung. Berita tentang rencana pemancungan ini telah sampai ke telinga kelurga para tahanan dan mendatangi pendeta Jacob untuk memohon pertolongan.
Jacob pesimis bahwa usahanya akan berhasil. Ia menulis: “Mustahil suatu putusan yang sudah ditetapkan oleh yang berwajib dapat dirubah oleh satu permohonan dari saya, istimewa mereka dalam pengawasan tentara Jepang yang tidak mengenal ampun.” Namun pendeta Jacob tetap membawakan pergumulan ini dalam doa. Suatu kesempatan muncul pada tanggal 15 Juli 1942 dimana Raja A.R. Koroh mampir di Oekabiti pada suatu pesta pernikahan “angkat belis” di Sonaf Fettor Thobias Abineno terhadap istrinya yaitu bunda (dari?) Alex Abineno. Pendeta Jacob telah lebih dahulu bersepakat dengan keluarga Abineno agar kesempatan itu ia gunakan untuk memohon pengampunan kepada Raja perihal ketiga orang yang akan dipancung. Bahkan diatur sedemikian rupa agar anggota keluarga Abineno tidak terlalu menonjol di depan melainkan membaur dengan undangan agar nampak bagi sang raja akan orang-orang lain juga selain anggota keluarga Abineno. Pihak keluarga kemudian mengatur agar sang pendeta makan bersama dengan sang raja. Kesempatan itu digunakan secara baik oleh sang pendeta dan setelah selesai makan ia mendekati sang Raja dan mengatakan bahwa ia hendak menyampaikan sebuah permohonan. Harus dimengerti konteks pada saat itu dimana seorang raja tak bisa secara mudah diajak berbicara.
Pendeta Jacob tak menyangka sang raja “mengangkat sebuah kursi dengan tangannya sendiri lalu didekatkan pada kursinya sendiri seraya mempersilahkan saya duduk di atasnya lalu dipeluknya pada bahu saya.” Fettor Thobias Abineno, ayah dari mantan Ketua umum, PGI Dr. J.L.Ch Abineno, juga ikut dalam pembicaraan mereka. Pendeta Jacob memohon kepada sang raja agar tiga yang sedang ditahan di Banuin janganlah dihukum mati, melainkan diganti dengan hukuman hidup, misalnya dengan membayar denda setimpal dengan perbuatan mereka. Ia menyatakan enam orang yang sudah dipancung sudah cukup menjadi pelajaran bagi mereka yang ingin memberontak. Jawaban sang raja luar biasa, setidaknya menurut sang pendeta. Sang Raja berkata: “Tuan seorang pendeta dan seorang suku Rote sebegitu menaruh belas kasihan atas kebebasan mereka, mengapa saya seorang Timor yang sebangsa dengan mereka, dan mereka adalah rakyat saya, mengapa saya tidak hendak menaruh belas kasihan kepada kebebasan mereka. Sang raja pun berjanji bahwa keesokan harinya tanggal 16 Juli 1942 ia akan sendiri pergi ke Banuin untuk meminta para tentara Jepang melepaskan orang-orang itu. Ia berjanji akan mengatakan bahwa ia telah meninjau kembali perkara orang-orang itu dan tidak didapati kesalahan pada diri mereka yang pantas dikenai hukuman mati. Sang pendeta juga menyatakan pesan pihak keluarga kepada sang Raja bahwa mereka ingin mempersembahkan tiga ekor kerbau jantan sebagai tanda ucapan terima kasih. Sang Raja menolak persembahan itu. Ia menyatakan rakyat sudah cukup miskin tak perlu lagi dibebani dengan pemberian semacam itu dan bahkan sang Raja berkata bahwa dia lah yang seharusnya mengucapkan terima kasih kepada sang pendeta karena telah mempedulikan rakyat  sang raja. Sang raja bahkan meminta agar di lain kesempatan jika ia melakukan “hal-hal yang serupa ini, atau melakukan hal-hal yang kurang adil, saya harap tuan sudi menasihati saya dan sekali lagi jangan tuan merasa kuatir terhadap saya.” Saya Raja pun berjanji akan menyampaikan berita kelepasan para tahanan tersebut kepada sang pendeta.
Malam itu juga mereka berpisah, sang Raja ke Buraen sedangkan sang pendeta ke rumahnya. Pihak keluarga para tahanan pun diminta oleh sang pendeta untuk datang ke rumahnya pada keesokan harinya untuk mendapatkan berita tentang kelepasan para tahanan.
Namun keesokkan harinya mereka menunggu sampai malam di rumah sang pendeta tak kunjung tiba kabar tentang dilepasnya para tahanan. Mereka semakin kuatir lantaran menurut rencana dua hari lagi hukuman mati akan dilaksanakan. Malam itu juga sang pendeta pergi ke Buraen bersama seorang anggota keluarga para tahanan bernama Hati Keo untuk mengetahui sejauh mana perkembangan penyelesaikan kasus ini oleh sang raja. Subuh, jam 4, tanggal 17 Juli 1942  kedua orang ini berkuda sejauh 13 kilometer dari Oekabiti ke Buraen.
Mereka tiba jam 6.30 dan sang raja sendiri terheran-heran keluar menyambut mereka di depan istana. Sang raja mengajak mereka masuk untuk sarapan bersama. Semula mereka menolak namun tak kuasa menolak permintaan sang raja. Pendeta Jacob dipersilahkan duduk di kepala meja sebagai penghormatan terhadap tamu. Barulah setelah selesai sarapan, mereka dapat mengungkapkan tujuan kedatangan mereka. Sang raja kaget dan mohon maaf atas kealpaannya mengurus masalah itu. Ia menyesal karena terlalu sibuk dan melupakan hal itu. Sang raja segera memanggil sopirnya bernama Ahmad Kosso  dan segera mereka berangkat ke Banuin yang berjarak sekitar 3 kilometer dari istana (sonaf) raja di Buraen.
Setibanya di Banuin sang Raja berbicara dengan sang overste bahwa ia telah meninjau kembali perkara ketiga orang itu dan tidak didapati satu kesalahan pun pada mereka sehingga mereka harus dilepaskan. Sang overste segera memberi perintah untuk membebaskan ketiga orang itu. Salah satu di antara para tahanan yang dibebaskan, Obe Rubu dari Batuna, sedang mendapat bisul besar (paes) di punggung sehingga sang raja meminta dokter tentara untuk merawatnya sampai sembuh sebelum dilepaskan. Sedangkan dua orang lainnya Titus Keo dan Tertulianus Messe diminta berjalan mendahului rombongan sang raja ke istananya. Di istana kedua orang yang baru dilepaskan menyatakan hendak memberi tanda terima kasih masing-masing berupa seekor kerbau kepada sang raja namun sang raja menolak persembahan itu. Ia hanya meminta mereka masing-masing membawa seekor ayam jantan dan lima butir telur kepada kepala tentara Jepang di Banuin sebagai ucapan terima kasih. Mereka kemudian disuruh pulang ke kampung mereka. Saat menulis surat kepada pendeta Middelkoop, pendeta Jacob menyatakan bahwa kedua orang ini masih hidup, berdasarkan informasi dari pendeta L. Manafe dan Fettor Oekabiti, Thobias Abineno.
Pendeta Jacob sempat bertemu dengan salah satu dari ketiga orang itu, Titus Keo, pada 24 Juli 1942, bertepatan dengan “hari pasar” Oekabiti. Lelaki tua berusia 50 tahun dari Fatuknutu (Oebeen) itu menemui sang pendeta untuk mengantarkan hadiah berupa barang dan hewan sebagai ucapan terima kasih. Pendeta Jacob menulis: “Ia telah memeluk leher saya dengan mencium saya serta menangis tersedu-sedu di tengah masyarakat di jalan besar dengan mengatakan: ‘kalau bukan bapak pendeta tentu kami sudah mati dipancung kepala’. Tetapi saya menolak segala hadiah tersebut dan enggan saya menerimanya serta saya katakan: ‘bahwa kelepasan tersebut sebenarnya bukan karena kecakapan saya melainkan oleh tangan yang kuat dari Yang Mahakuasa di Surga. Umum telah maklum, siapakah kita ini, yang bisa hidup dan dapat luput dari kuasa tuan raja Buraen dan dari tangan tentara Dai Nippon kalau bukan pertolongan dari Maha Besar Tuhan, maka bukan saja saudara bertiga, tetapi mungkin sekali saya juga akan ikut binasa.”
Setelah kejadian itu nampaknya hubungan pendeta Jacob dan sang Raja bertambah dekat. Pendeta Jacob diminta untuk menjadi penilik Sekolah Rakyat yang terlantar selama pendudukan Jepang. Ia mulai bertugas sejak 1 Agustus 1942. Para guru-guru telah melarikan diri karena ketakutan akan Jepang. Sang raja memberi perlindungan, rumah, kuda sebagai kendaraan bahkan pesuruh (arbeider) untuk mengunjungi sekolah-sekolah dan jemaat dan memberi laporan kepada sang Raja.
Kolekte jemaat di pegang oleh sang raja untuk menjamin gaji para utusan injil dan pelayan. Buku kas dipegang oleh pendeta Jacob dan ditantangani oleh raja. Pendeta Jacob mengaku masih menyimpan buku kas pada masa pendudukan Jepang sebagai kenang-kenangan bagi sejarah gereja khusunya di Amarasi.  Istana raja dipakai sebagai tempat kebaktian bahkan sampai setelah ia meninggal. Menurut Pendeta Jacob alasan dipakainya istana raja sebagai tempat kebaktian karena telah tersebar pamflet-pamflet sekutu di Amarasi yang intinnya menyatakan ancaman terhadap sang raja. “Beliau telah mengetahui bahwa ia akan mati oleh ancaman tersebut sebab itu setiap kali beliau mohon supaya ia sekeluarga didoakan, agar ia beroleh ketabahan iman menghadapi kemungkinan-kemungkinan sesuatu dengan ancaman pamflet Serikat yang tersebar di seluruh Amarasi,” tulis pendeta Jacob. Namun sebelum pihak Sekutu mendarat sang raja ditimba sakit keras. Di tengah sakitnya ia selalu meminta supaya Alkitab dibacakan baginya dan ia minta keampunan didoakan baginya. Sang raja meninggal pada 28 Oktober 1944 saat sedang mendengarkan pembacaan Alkitab yang ia mintakan. “Walaupun beliau adalah terhisab seorang raja yang besar kuasanya dan tidak terlawan pada waktu pendudukan Jepang dan banyak kali tidak hendak menghiraukan kehendak Allah, tetapi pada akhir-akhir hidupnya dapat ia mengaku seperti apa yang pernah dikatakan oleh Kaisar Julian yang murtad: Bahwa pada akhirnya engkau juga yang menang Ya Yesus orang Nazareth!” Pendeta Jacob diminta oleh saudara almarhum H.A. Koroh untuk memimpin kebaktian penguburan yang berlangsung pada 29 Oktober. Ia memilih pembacaan Alkitab dari Keluaran 3:14. Dalam suratnya kepada pendeta Middelkoop ia juga menguraikan sedikit khotbahnya. Inti pesannya adalah “janganlah kamu takut, Aku ini ada beserta dengan kamu sampai kesudahan alam ini.” Itulah kalimat terakir khotbahnya. Rupanya tentara jepang bagian “Teketai” tersinggung dengan khotbah itu yang dianggap sebagai ejekan halus kepada tentara Jepang yang tak lama lagi akan menyerah kalah kepada pihak Sekutu. Untunlah beberapa tokoh turun tangan membela sang pendeta, antara lain I.H. Doko dan Komis Runtuwene yang menyatakan bahwa khotbah tersebut tidak mengandung politik melainkan pekabaran injil yang murni. Pendeta Jacob bebas dari kemarahan tentara Jepang.
Pihak Sekutu mendarat hampir setahun kemudian yaitu pada 10 Oktober 1945. Sebelum meninggal sang Raja telah menyerahkan segala uang kolekte Jemaat kepada ketua Gereja N. Nisnoni. Nisnoni adalah Raja Kupang yang berkedudukan di Labat saat itu. Kas gereja ini diserahkan dengan perantaraan pendeta Jacob. Pendeta Jacob berkarya di Amarasi selama 16 tahun yaitu sejak 1 Juli 1932 sampai 1 Oktober 1948. Ia menutup suratnya dengan syukur: “Pada waktu pendudukan Jepang di Timor, banyak di antara kawan-kawan pendeta telah meninggalkan jemaatnya lantaran takut akan bahaya perang, tetapi syukur bahwa oleh perlindungan dan kemurahan dari pada Maha Besar Tuhan, saya sebagai gembala jumat di ressort Amarasi tetap bekerja di tempat saya di Oekabiti sampai dengan Serikat telah mendarat…untuk pekabaran gereja Tuhan yang bertanggungjawab.”  Demikian sekelumit kisah tentang Fai Foni yang berjuang bersama para temukung termasuk Ranu Ruku dan Abi Tameno.
17.     Tnobi Obe memerintah temukung Battuna selama 17 tahun, pada tahun 1939 s/d 1956. Wilayah ketemukungan Ruanrette berganti kepemimpinan pada tahun 1935 yakni Seno Ruku (Rehabiam Ruku) yang memerintah selama 38 tahun, pada tahun 1935 s/d 1968. Pada tahun 1939 ketemukungan Taninriin diganti oleh Hika Siki yang memimpin selama 21 tahun, pada tahun 1939 s/d 1960.
18.     Toro Seko Obe memimpin ketemukungan Battuna selama 12 tahun, sejak 1956 s/d 1968. Sedangkan pada tahun 1960 ketemukungan Taninriin diganti oleh Frans Siki yang memerintah selama 6 tahun, sejak 1960 s/d 1966, selanjutnya tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Yeskial Bana yang memimpin selama 2 tahun, sejak tahun 1966 s/d 1968.
Pada tahun 1968 di masa program desa gaya baru dimulai, para temukung bersepakat untuk menjadi 1 (satu) desa, dan oleh karena maksud tersebut maka kepemimpinan kepala desa dimulai. Adapun kepala desa yang pernah memimpin Tunbaun sejak tahun 1968 sampai saat ini adalah sebagai berikut :
1.      Titus Honin menjadi kepala desa selama 13 tahun sejak tahun 1968 s/d 1981.
2.      David Nitti menjadi kepala desa selama 18 tahun sejak tahun 1981 s/d 1988.
3.      Erens E. Siki menjadi kepala desa selama 8 tahun sejak tahun 1998 s/d 2005.
4.      Antonius Beti menjadi kepala desa sejak tahun 2005 s/d 2011 untuk periode pertama dan kembali terpilih pada tahun 2012 untuk periode 2012 s/d 2018.
Sebagaimana pergantian tampuk kepemimpinan pada umumnya yang tidak terlepas dari sengketa dan pergolakan, sejak kepemimpinan temukung sampai ke desa juga dipenuhi oleh drama perselisihan antar wilayah, marga, bahkan terkadang agamapun dilibatkan namun dari semua hal tersebut makin mengokohkan persatuan dan kesatuan di wilayah desa Tunbaun pada masa kini.




[1] Parera, ADM. Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor, Sinar Harapan; Jakarta, 1994. Hal. 2-3.
[2] Penulis memperkirakan bahwa eksodus ini seiring dengan kedatangan Sonba’I ke Mutis dimana sebagian keturunan Sonba’I diantaranya leluhur Obehetan ini meneruskan perjalanannya ke barat. Bukti bahwa leluhur Obehetan berasal dari Mutis dapat dilihat pada penyebutan batu marga (Fatu Kanaf) Obehetan yakni Tunbaunam-Muitbaun. Sebutan Muitbaun disini menunjuk pada Mutis tempat asal nenek moyang mereka sedangkan Tunbaun menunjuk pada tempat Fatu Kanaf mereka.
[3] Sama seperti Sonba’I yang mengajarkan cara menyalakan api kepada penduduk asli Mutis.
[4] Kon Noni menjadi tempat tinggal bagi Nai Bana sehingga sampai saat ini sapaan akrab untuk seorang yang bermarga Bana sebagai Am Noni (untuk laki-laki) atau In Noni (untuk perempuan)
[5] Nai Nitti adalah seorang Meo sakti yang konon dapat melayang di angkasa untuk memantau musuh. Julukan Nai Nitti ini disebut karena kehebatannya melihat/mengetahui keberadaan musuh atau orang yang dicari. Dalam bahasa Dawan, Nit artinya melihat, sedangkan Nai Nitti adalah orang yang melihat.
[6] Banjir bandang tersebut mungkin juga menggenangi Kupang dan sekitarnya
[7] Tongkat emas ini akan dibahas lebih dalam pada bagian Struktur Pemerintahan Kerajaan Suku Battuna
[8] Dituturkan oleh Tr. Obhetan dan Piter Seko Obehetan sebagai Tokoh Adat yang mewakili marga Obehetan dan Nitti. Keduanya merupakan Pemerhati kebudayaan di Battuna yang juga merupakan keturunan langsung dari Raja Suku yang memerintah pada masa Kerajaan Suku Battuna Kuno.
[9] Dituturkan oleh Tr. Obhetan yang telah membuat catatan-catatan kecil tentang keberadaan kerajaan suku Battuna kuno. 

[10] Parera, ADM. Sejarah Pemerintahan Raja-Raja di Timor; Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1974, hal. 177.
[11] Sebagaimana tradisi timur pada umumnya yakni masyarakat yang menganut sistem patrilineal atau pemegang kekuasaan ada di tangan pria
[12] Hasil wawancara bersama Tr. Obhetan bersama dengan sejumlah tokoh adat dan tokoh masyarakat yang ada di desa Tunbaun bahkan wawancara melibatkan kaum keturunan langsung dari temukung maupun kepala desa yang ada.
[13] Pendeta Emeritus B.J Jacob menjadi pelayan di Amarasi selama 16 tahun dan sebagian besar anak-anaknya dilahirkan di desa Tunbaun. Melayani secara penuh dan menetap di desa Tunbaun pada tahun 1945-1948.
[14] Dr. Pieter Middlekoop adalah seorang penginjil yang yang melayani di pulau Timor. Pada tahun 1920 Dr. Pieter Middelkoop meneliti tentang Natoni di Battuna dengan cara menetap dan melaksanakan segala aktifitasnya di Battuna dengan Natoni bersama Runa Eko selama satu minggu.

Bersambung ... (Ke Bab II)

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Tilong sertakan silsilah garis turunan nitti obehetan krna setahu saya piter seko bois bukn obehetan..

    BalasHapus
  3. Tilong sertakan silsilah garis turunan nitti obehetan krna setahu saya piter seko bois bukn obehetan..

    BalasHapus
  4. Tulisan ini menjadi pijakan yang baik untuk merangkai sejarah Battun.... ada beberapa bagian yang bisa kita diskusilan.

    BalasHapus
  5. Thanks untuk masukannya, butuh pembahasan lanjutan untuk pengembangan tulisan ini sebagai sejarah desa..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Isi Hati Tuhan

Tiga Dimensi Peperangan Rohani